Judul
buku: “Military Politics, Islam, and the
State in Indonesia”
Penulis:
Marcus Mietzner
Penerbit:
ISEAS, Singapura
Cetakan:
Pertama, 2009
Tebal:
xvi+426 Halaman
ISBN:
978-981-230-787-3
Peresensi:
A. Nur Santi (10.12.096)
KUTIPAN
pengantar buku ini boleh dijadikan titik tolak membayangkan seluruh isi buku,
yaitu dua pernyataan Amien Rais yang bertolak belakang. Pernyataan pertama
menegaskan bahwa tantangan terbesar Indonesia adalah memisahkan politik dan
tentara, sementara yang kedua malah menganggap kehadiran tentara sangat penting
untuk menjaga integritas nasional.
Tentu
pernyataan mantan Ketua MPR itu memiliki konteks berbeda, tetapi tak
terelakkan, ambiguitas tokoh reformasi ini menghadapi peran militer di dalam
ranah sipil acapkali juga dihadapi tokoh lain. Bagaimanapun, dalam masa
transisi menuju konsolidasi demokrasi, peranan militer dan hubungannya dengan
kekuatan sipil tetap diperhitungkan.
Buku
Marcus Mietzner yang berjudul Military Politics, Islam, and the State in
Indonesia ini merupakan kajian hubungan sipil-militer pasca-Soeharto yang
menekankan pada sebab-sebab dan konsekuensi dari usaha yang sukar untuk
mengontrol kekuatan tentara sebagai agenda utama dari reformasi. Tambahan pula,
penulis juga memandang penting ”sumbangan” Islam politik sebagai salah satu
ekspresi kalangan sipil dalam masa transisi. Kiprah yang sama juga bisa
ditemukan pada kekuatan kelompok nasionalis sekuler dan non-Muslim yang
berusaha menempatkan dirinya sebagai kekuatan sipil yang menjadi penyeimbang
kecenderungan aliran politik teokrasi.
Kontrol
demokrasi terhadap kekuatan militer adalah salah satu faktor kunci dalam keberhasilan
transisi dari kekuasaan tangan besi ke pemerintahan demokratis. Bagaimanapun
peranan militer itu sendiri tetap penting untuk mengawal proses ini sembari
kaum sipil mengurangi pengaruh militer terhadap pembentukan struktur politik
pascaotoritarianisme. Tambahan lagi, kekuatan sipil segera menegakkan mekanisme
konstitusional yang menempatkan institusi sipil terpilih bertugas dalam sebuah
pemerintahan, termasuk sektor keamanan. Pelajaran dari negara-negara Eropa
Timur menunjukkan keberhasilan kontrol terhadap militer oleh otoritas negara
yang dipilih secara demokratis dan sah, lebih jauh dari itu adalah peran
maksimal kekuatan sipil terhadap militer dan secara fundamental tentang
legitimasi, kepemerintahan, dan pertanggungjawaban hubungan militer sipil.
Model
Samuel P Huntington, bahwa pembentukan militer profesional merupakan prasyarat
untuk menegakkan kontrol demokrasi (hlm 15), turut memengaruhi negara-negara
donor terhadap bantuan militer untuk negara-negara yang berada dalam masa
transisi. Sebagian besar dana itu diperuntukkan untuk pelatihan militer klasik,
dengan harapan ia akan menanamkan tingkat kepentingan yang memadai dalam
profesi militer dan pada masa yang sama mengurangi hasrat mereka untuk terlibat
dalam politik. Namun, profesionalisme di sini tidak menghilangkan kemungkinan
bahwa militer memperoleh kemampuan yang bisa mendorong untuk terlibat dalam
politik.
Seperti telah diketahui, di negara-negara berkembang militer turut terlibat dalam kegiatan politik, yang seharusnya merupakan area sipil. Keterlibatan ”pemilik” senjata ini kadang menggunakan jalur demokratik, seperti mengajukan jenderal sebagai kepala daerah, melobi politisi, membentuk opini publik dengan memanfaatkan media, atau terlibat di dalam organisasi masyarakat sipil atau tangki pemikiran (think tank). Namun, celakanya, mereka juga menggunakan pemaksaan dengan menekan lembaga-lembaga negara, memaksa untuk terlibat dalam keanggotaan legislatif dan eksekutif, dan malah mengambil alih pemerintahan. Tak hanya itu, mereka juga terlibat dalam area lain yang sangat strategis, ekonomi. Namun, pada era reformasi, dwifungsi mereka dipertanyakan dan bahkan digerogoti secara perlahan dengan tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen dan bisnis yang dikelola juga dilucuti.
Seperti telah diketahui, di negara-negara berkembang militer turut terlibat dalam kegiatan politik, yang seharusnya merupakan area sipil. Keterlibatan ”pemilik” senjata ini kadang menggunakan jalur demokratik, seperti mengajukan jenderal sebagai kepala daerah, melobi politisi, membentuk opini publik dengan memanfaatkan media, atau terlibat di dalam organisasi masyarakat sipil atau tangki pemikiran (think tank). Namun, celakanya, mereka juga menggunakan pemaksaan dengan menekan lembaga-lembaga negara, memaksa untuk terlibat dalam keanggotaan legislatif dan eksekutif, dan malah mengambil alih pemerintahan. Tak hanya itu, mereka juga terlibat dalam area lain yang sangat strategis, ekonomi. Namun, pada era reformasi, dwifungsi mereka dipertanyakan dan bahkan digerogoti secara perlahan dengan tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen dan bisnis yang dikelola juga dilucuti.
Namun,
masalahnya, kalangan sipil gagal mengambil peluang dalam memuluskan masa
transisi. Ketika mereka diberi kepercayaan dengan tampilnya Abdurrahman Wahid
sebagai presiden, justru tak lama kemudian pengongsian sipil ini pecah dan jauh
dari itu kekuatan politik Islam tercerai-berai. Uniknya, salah satu pihak
menggunakan hujah agama untuk mempertahankan pendiriannya, seperti pernyataan
salah seorang ulama yang menegaskan bahwa darah ketua DPR dan ketua MPR waktu
itu adalah halal sehingga sejalan dengan hukum Islam patut dibunuh. Tak hanya
itu, beberapa kiai terkenal bertemu di Sukabumi pada April 2001 dan menetapkan
bahwa penentang Gus Dur dianggap bughot, pemberontak terhadap pemerintah yang
sah.
Greg
Fealy menegaskan bahwa berkait dengan politik, setiap aliran mempunyai perbedaan
yang utama mengenai ideologi, kebijakan, dan gaya kepemimpinan dan
masing-masing menggunakan aspek pemikiran dan tradisi Islam yang berbeda untuk
mengesahkan pendekatan khas mereka terhadap politik. Kebanyakan kontroversi
berkait dengan struktur, identitas, dan sumber daya negara (hlm 73).
Perselisihan kelompok modernis dan tradisionalis yang sebenarnya telah
dimanfaatkan oleh tentara untuk menjadi penengah dan mengambil keuntungan dari
situasi ini terulang pada masa pasca-Soeharto.
Organisasi
kemasyarakatan
Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan yang mewakili
suara Muslim yang diberikan tempat khusus oleh penulis buku ini. NU dianggap
pemain penting dalam menentukan nasib Soeharto pada waktu kritis ekonomi dan
politik. Organisasi tradisionalis ini pada masa lalu juga membantu melestarikan
dan melanggengkan rezim otoriter dan juga menunjukkan faktor penentu, pada
tahun 1965, perubahan rezim ketika menarik dukungannya pada pemerintah yang
berkuasa. Pada era Orde Baru, diwakili oleh Gus Dur, NU memilih bermesraan
dengan Soeharto dengan tiga pertimbangan utama, yaitu strategi politik, ambisi
pribadi, dan kepentingan sosial ekonomi kaum Nahdliyin. Namun, hubungan ormas
berlambang bumi ini tidak selalu sejalan dengan jenderal bintang lima itu.
Hal
yang sama juga berlaku dengan Muhammadiyah. Melalui sepak terjang Amien Rais,
organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini mengalami fluktuasi hubungan
dengan Soeharto (hlm 156) dan pada waktu yang sama dengan militer. Ketika Soeharto
berada di ujung tanduk, orang kepercayaannya, Wiranto, berusaha untuk
meyakinkan masyarakat untuk tenang dan memberikan kesempatan kepada pemerintah
untuk mengatasi krisis ekonomi. Sementara itu, koleganya, Agum Gumelar, mencoba
membangun komunikasi dengan tokoh reformasi tersebut untuk membuka dialog
dengan para ”pembangkang”. Namun, upaya ini pun gagal, Sang Raja tumbang.
Kejatuhan Soeharto menyebabkan Indonesia terpuruk pada ketidakpastian yang ditandai dengan ketidakstabilan ekonomi, tantangan keamanan, fragmentasi sosial, dan pengalaman yang luas terhadap perubahan institusi baru. Tentu, partai politik ”Islam” menjadi pemain penting dalam masa transisi menuju konsolidasi. Pergeseran orientasi politik mereka yang tidak lagi terbelenggu dengan gagasan negara Islam telah mendorong langkah moderat. Apatah lagi, amandemen Undang-Undang Dasar tahun 2002 telah mengubur impian seperti ini. Koalisi dengan partai sekuler nasionalis telah mengantarkan banyak wakilnya menduduki kursi eksekutif sehingga rakyat tidak tersandera oleh kepentingan sempit perjuangan ideologi.
Kejatuhan Soeharto menyebabkan Indonesia terpuruk pada ketidakpastian yang ditandai dengan ketidakstabilan ekonomi, tantangan keamanan, fragmentasi sosial, dan pengalaman yang luas terhadap perubahan institusi baru. Tentu, partai politik ”Islam” menjadi pemain penting dalam masa transisi menuju konsolidasi. Pergeseran orientasi politik mereka yang tidak lagi terbelenggu dengan gagasan negara Islam telah mendorong langkah moderat. Apatah lagi, amandemen Undang-Undang Dasar tahun 2002 telah mengubur impian seperti ini. Koalisi dengan partai sekuler nasionalis telah mengantarkan banyak wakilnya menduduki kursi eksekutif sehingga rakyat tidak tersandera oleh kepentingan sempit perjuangan ideologi.
Benar
kata Nasir Jamil, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, yang menegaskan
bahwa ideologi partai adalah penting sejauh untuk kekompakan internal partai;
tetapi ketika membangun koalisi, kebutuhan praktis masyarakat Indonesia
mendapatkan keutamaan (hlm 344). Sikap yang sama sebelumnya juga telah
dilakukan oleh Partai Islam se-Malaysia (PAS), yang tidak lagi memperjuangkan
negara Islam dalam manifesto politik. Bersama partai sekuler lain, Partai Aksi
Demokrasi dan Partai Keadilan Rakyat, malah mendukung program negara
kesejahteraan atau dalam bahasa mereka, negara kebajikan. Tak hanya itu, partai
berlambang bulan ini mendirikan sayap yang beranggotakan non-Muslim dan
menggelorakan slogan ”PAS for All”.
Strategi
di atas telah memungkinkan partai Islam untuk bekerja sama dengan nasionalis
sekuler dan membuka ruang bagi kekuatan sipil untuk memerintah. Malah, menurut
penulis, koalisi antarpartai Islam jarang berlaku, hanya 37 persen, itu pun tak
semuanya memenangkan pemilihan kepala daerah. Pada waktu yang sama, kerja sama
ini telah mempersempit peluang politisi militer untuk menduduki kepemimpinan
publik.
Dari
uraian tersebut, boleh dikatakan bahwa transisi ke konsolidasi demokrasi relatif
berhasil dan jauh dari itu, ideologi politik tidak lagi menghalangi para pegiat
partai untuk bekerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas.
Bukankah yang terakhir inilah yang menjadi tujuan demokrasi?
No comments:
Post a Comment