Judul:
“Jejak Terorisme dalam Bahasa Osama dan
Bush”
Penulis:
Abdul Munir Mulkhan
Penerbit:
Pustakaloka
Peresensi:
Mulyani (10.12.060)
TERORISME,
aksi kekerasan yang memandang diri paling beradab dan benar, muncul bersama
sejarah kekuasaan dalam peradaban umat manusia. Hendropriyono menengarai adanya
gejala gangguan jiwa pada pelaku teror. Aksi
terorisme tidak semata berkaitan dengan keyakinan perang suci mencari syahid.
KOMPAS/YUNIADHI
AGUNG
Peradaban
hegemonik, yang menempatkan suatu bangsa dengan kekuatan ekonomi dan
persenjataan paling andal memperluas kontrol atas dinamika kehidupan global,
menyuburkan peluang kebangkitan kembali terorisme untuk semua bangsa dan agama.
Jika pada masa lalu terorisme berlangsung dalam wilayah dan melibatkan kelompok
terbatas, dalam era global terorisme memperluas diri dengan memanfaatkan
teknologi komunikasi dan informasi. Tragedi 11 September 2001 menyebabkan
”demam” terorisme sehingga negara-negara maju membentuk lembaga yang secara
khusus menangani aksi-aksi teror (hal 25-39)
Terorisme
semakin ruwet ketika dilakukan atas nama peradaban dan modernitas, atas nama
demokrasi dan atas nama Tuhan sekaligus. Kompleksitas terorisme tecermin dalam
susunan kalimat atau susunan bahasa yang ditulis atau diucapkan pelaku.
Struktur bahasa atau kalimat itu mencerminkan sistem keyakinan keagamaan dan
ideologi yang dianut dan diyakini pelaku. Bahasa terorisme kemudian menjadi
fokus penelitian AM Hendropriyono untuk memperoleh gelar doktor di bidang
filsafat.
Latar
belakang penulis, mantan petinggi militer yang pernah menjabat sebagai Kepala
Badan Intelijen Negara (BIN), membuatnya dengan enteng menyebut pelaku teror
sebagai sesat pikir. Suasana kejiwaan Osama bin Laden dan George Walker Bush
ditempatkan sebagai representasi fundamentalisme Islam dan Kristen, merupakan
fokus kajian buku ini. Teori language games Wittgenstein dipakai untuk mengkaji
pernyataan kedua tokoh dan membedah keyakinan, ideologi, dan keterbelahan
kepribadian (hal 20-21, 247). Pelaku mengacu Tuhan untuk melakukan kejahatan,
berdoa mengharap keridaan-Nya, sekaligus mengancam menghancurkan ciptaan-Nya.
Keterbelahan pribadi dan kegalatan (ketidakteraturan) itu terlihat dalam
struktur dan gaya bahasa berdoa dan mengancam yang berbeda tetapi tersusun
dalam satu ungkapan (hal 434). Dijelaskan bahwa pelaku teror mengalami
kesesatan epistemologis sehingga bersikap tidak rasional. Demokrasi dipaksakan
dengan kekuatan militer dengan korban warga sipil: anak-anak, perempuan, dan
mereka yang tidak tahu apa-apa. Bush berucap, ”... the US will promote
moderation and tolerance and human rights… will lead the world to safety,
security, peace, and freedom.” (hal 307), saat lain berkata, ”… ini adalah
suatu bangsa yang tidak pernah berkedip dari peperangan….” (hal 327). Sementara
Osama terus berjihad dengan sasaran orang-orang Yahudi dan Amerika di mana saja
berada, ”... some terrorism is blessed.... We practice the good terrorism which
stops them killing our children….” (hal 318).
Terorisme
dan ideology
Apakah
terorisme? Buku ini menjelaskan pengertian terorisme secara kefilsafatan
sebagai tindak kejahatan yang tidak tunduk pada aturan apa pun karena kebenaran
terletak dalam dirinya sendiri. Keberadaan terorisme bagai unslaying hydra,
hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati, seperti Candabirawa, jin piaraan
Raden Narasoma (hal 432). Secara teoretis, terorisme sebagai perang terbuka
inkonvensional atau gerilya yang lahir dari kegalatan pikiran dan kepribadian
pelaku yang bermasalah, menciptakan ketakutan publik atau simpati membuta
pendukungnya (hal 34).
Terorisme
dipandang sebagai perlawanan atas perlakuan tidak adil dan zalim negeri beradab
dan demokratis atas bangsa-bangsa berkembang. Di satu sisi, Amerika dan dunia
Barat membela martabat peradaban dan kemanusiaan dengan perang. Di sisi lain,
perang suci dilakukan untuk melawan kezaliman atas nama martabat kemanusiaan
mewakili kehendak Tuhan (hal 192, 327).
Dari
penelusuran Hendropriyono, ditemukan terorisme bisa berakar dari sistem
pemahaman keagamaan semua agama yang harfiah (tekstual), seperti Wahabi atau
Salafi yang melahirkan ideologi anti-Barat, Yahudi, Kristen, dan Amerika. Hal
itu terlihat pada diri Osama dan kelompok Afganistan-nya (hal 8, 189, dan 393).
Fundamentalisme Kristen berkaitan dengan ideologi neoimperialis yang diperankan
Bush sebagai kelanjutan keberhasilan industrialisasi dengan ekses kehampaan
jiwa seperti peran Bush (hal 159). Fundamentalisme Katolik dibangun dari
penolakan atas modernitas dengan menempatkan Paus sebagai simbol kesempurnaan.
Sementara fundamentalisme Yahudi berbasis keyakinan atas Palestina sebagai
tanah keberkatan, satu-satunya yang dihadirkan Tuhan untuk kaum Yahudi dengan
Zionis-nya (hal 161).
Ini
adalah buku pertama yang terbit di Indonesia yang mengupas terorisme dengan
fokus dua tokoh utama, seolah mewakili peradaban Timur dan Barat. Kehidupan
dunia global terbelah ke dalam dua kekuatan ekstrem. Islam, di satu sisi, dan
Barat yang Yahudi dan Kristen, di sisi lain, yang saling menghancurkan seolah
membenarkan tesis Huntington tentang benturan peradaban.
Habitat terorisme
Habitat terorisme
Ajaran
agama-agama yang disusun pada saat kekerasan mendominasi kehidupan dapat
membuat tradisi keagamaan sebagai habitat terorisme. Kehendak Tuhan diklaim
sepihak dengan menempatkan pihak lain sebagai pembangkang yang karenanya bisa
diperlakukan sebagai makhluk tanpa status. Cara pandang ini diurai
Hendropriyono yang bisa membuat kelompok keagamaan garis keras, yang kadang
menyebut diri sebagai penganut Wahabi atau Ikhwanul Muslimin (hal 394), merah
telinga.
Penulis
juga membahas beberapa kelompok Muslim yang selama ini dikenal memiliki
pemahaman yang cenderung harfiah, seperti Wahabi, Salafi, dan Ikhwanul Muslimin
(hal 165). Dalam pengantarnya, Zuhairi Misrawi menyebut Wahabisme sebagai paham
yang bisa menjadi habitat teorisme melahirkan pengantin-pengantin bom bunuh
diri (hal xix). Penyebutan beberapa kelompok itu bisa menimbulkan salah paham,
tetapi buku ini memang layak dibaca dan dicermati mereka yang selama ini
dikenal sebagai mayoritas bisu (silent mayority).
Mayoritas
bisu itu perlu membuktikan secara proaktif bahwa penganut Islam lebih pro jalan
damai dalam mencapai kehidupan surgawi yang dicita-citakan bermanfaat bagi
semua orang dari beragam bangsa dan pemeluk agama, dan yang tidak beragama
sekalipun. Dunia beradab menunggu bukti bahwa jalan pedang bukanlah jalan
otentik penyebaran Islam. Jihad juga berarti perjuangan menegakkan keadilan dan
kebahagiaan semua manusia dari beragam agama dan yang tidak beragama, bukan
hanya bagi yang menyatakan memeluk Islam (hal 396).
Bagaimanapun,
pemeluk semua agama merindukan kebebasan dan kedamaian memuji dan beribadah
kepada Tuhan. Negeri ini mempunyai pengalaman mencari solusi atas perbedaan
keyakinan keagamaan dan ideologi dalam mencapai tujuan hidup bersama di bawah
formula kebangsaan tanpa mengurangi ruang berjihad di jalan Tuhan yang
diyakini. Masalahnya, bagaimana Pancasila menangkal terorisme di Tanah Pertiwi,
sebagaimana dahulu mengatasi perbedaan mencapai Indonesia merdeka (hal 362).
Catatan
penting yang perlu diberikan pada buku ini ialah kajian terhadap ideologi
kekerasan yang bersumber pada keyakinan keagamaan yang terkait dengan paham
Wahabi, Salafi, dan Ikhwanul Muslimin kurang luas, tajam, jernih, dan mendalam.
Hal itu bisa menimbulkan reaksi tidak sehat dari pihak-pihak yang selama ini
menempatkan berbagai ajaran jihad dan sikap eksklusif dari paham itu sebagai
sumber rujukan meski tidak secara terbuka mengaku sebagai penganutnya.
No comments:
Post a Comment