Judul: “Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan”
Penulis: Nurcholish Madjid
Penerbit: Dian Rakyat dan Paramadina
Tahun terbit: 2010
Peresensi: Sinar (10.12.090)
Pesantren sebagai salah satu pilar
pendidikan modern Islam, tengah menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ia
harus dapat menjawab berbagai persoalan bangsa di tengah kemajuan di berbagai
bidang yang tidak mungkin dihindari.
Itu sebabnya pesantaren, yang selama
ini memiliki stigma sebagai lembaga pendidikan yang konservatif dan cenderung
anti-modern, harus segera melakukan perbaikan. Hal tersebut bertujuan agar
langkah pesantren dapat sederap dengan kemajuan, dengan tetap menjadi benteng
nilai relijius.
Buku yang ditulis oleh Nurcholish
Madjid ini ingin mengungkapkan masalah-masalah pokok dunia pesantren di
Indonesia. Masalah-masalah itulah yang menurut Nurcholish menjadikan pesantren
sulit untuk menemukan solusi masalah-masalah bangsa.
Salah satu masalah pokok yang
diungkapkan Nurcholish adalah lemahnya visi dan tujuan pendirian pesanteran.
Menurutnya, banyak pesantren yang gagal merumuskan tujuan dan visinya secara
jelas. Ini ditambah dengan kegagalan dalam menuangkan visi tersebut pada
tahapan rencana kerja ataupun program.
Akibatnya, sebuah pesantren hanya
berkembang sesuai dengan kepribadian pendirinya, dengan dibantu oleh kiai
maupuin pembantu-pembantulainnya. Tidak mengherankan jika semangat pesantren
adalah semangat pendirinya.
Bagi Nurcholish, keterbatasan fisik
dan mental pendiri pensantren itu dapat membuat pesantren menjadi kurang
responsif terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Apabila hal ini tidak selesaikan, maka, pesantren akan dianggap tidak mampu lagi menghadapai tantangan-tantangan yang dibawa oleh kemajuan jaman dan modernisasi. Kekurangan inilah yang membuat terjadinya kesenjangan antara pesantren dengan "dunia luar".
Apabila hal ini tidak selesaikan, maka, pesantren akan dianggap tidak mampu lagi menghadapai tantangan-tantangan yang dibawa oleh kemajuan jaman dan modernisasi. Kekurangan inilah yang membuat terjadinya kesenjangan antara pesantren dengan "dunia luar".
Oleh sebab itu perubahan harus
dilakukan, dalam arti mengejar ketinggalan yang telah. Namun demikian,
Nurcholish mengingatkan sejumlah hal mengenai hal ini, misalnya perubahan
tersebut harus dimulai dari "orang dalam" pesantren itu sendiri.
Kedua, perubahan sering tidak dapat
dilakukan secara radikal. Akibtanya, perubahan dilakukan secara perlahan. Ini
dapat dimulai dari perubahan kurikulum di pesantren, yang tidak hanya mengemban
fungsi relijius tetapi juga keilmuan.
Inilah yang diistilahkan oleh
Nurcholish sebagai amanat ganda pesantren, yakni amanat agama serta amanat
keilmuan. Keduanya harus dilakukan secara serentak dan proporsional sehingga
tercapai keseimbangan yang diharapkan.
Untuk itulah buku ini, seperti yang
ditulis oleh Prof Malik Fajar dalam buku ini, menawarkan sebuah sintesa antara
perguruan tinggi dan pesantren (hal. 121). Sintesa keduanya diharapkan dapat
menjawab kebutuhan dua jenis pendidikan tersebut, yakni perguruan tinggi yang
rasional namun miskin kedalaman spiritual, dan pesantren yang kuat dengan
tradisi keagamaan, namun tertatih-tatih di bidang keilmuan.
Dengan membaca buku ini, pembaca
dapat diajak untuk kembali memikirkan dan membenahi pesantren. Dengan upaya ini
pesantren tidak lagi dianggap sebagi pilar pendidikan yang "nomor
dua", tetapi justru menjadi ujung tombak pemberdayaan masyarakat.
Dengan begitu pesantren dapat
diharapkan untuk memberikan solusi atas masalah-masalah yang seakan tidak
berhenti menghujani bangsa Indonesia.***
No comments:
Post a Comment