Judul Buku:
"Negeri Senja"
Pengarang:
Seno Gumira Adjidarma
Penerbit:
KPG (Kompas Populer Gramedia)
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2003
Tempat Terbit: Jakarta
Genre:
Roman
Peresensi: Akhyar Rusydi (10.12.042)
Hidupku penuh
dengan kesedihan – karena itu aku selalu mengembara. Aku selalu berangkat,
selalu pergi, selalu berada dalam perjalanan, menuju ke suatu tempat entah
dimana, namun kesedihanku tidak pernah hilang. Kesedihan, ternyata, memang
bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, karena kesedihan berada di dalam diri
kita. Aku selalu mengira kalau melakukan perjalanan jauh maka kesedihan itu
akan bisa hilang karena tertinggal jauh di belakang, tapi itu tidak pernah
terjadi. Ada
segaris luka dalam hatiku yang mendorong aku pergi jauh dari kampung halamanku
dan sampai sekarang belum kembali.
Demikian
paragraf pembuka dari Novel Negeri Senja. Berkisah tentang seorang pengembara
yang telah berkeliling dunia dan akhirnya tiba di suatu negeri dimana
mataharinya tak pernah terbenam. Negeri yang selalu berada dalam keadaan senja
ini berada di tengah gurun pasir, yang keberadaannya tak diketahui dan tak
dipercayai sebagian orang namun memang nyata adanya.
Dalam novel ini
pengarang mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu tokoh utama dari novel
ini, sang pengembara yang hingga akhir kisah tak disebut namanya. Sang
pengembara, kemudian memutuskan tinggal untuk sementara waktu di negeri
tersebut untuk melengkapi catatannya tentang negeri yang dilingkupi warna
keemasan itu. Dia menceritakan kisah-kisah perjalanannya dan interaksinya dengan
penduduk negeri senja melalui surat
kepada seseorang yang bernama Alina.
Negeri senja
digambarkan sebagai negeri yang tertinggal, miskin, dan dipimpin seorang ratu
tiran yang gemar menindas rakyatnya. Di negeri ini pengetahuan diberangus,
setiap orang tak punya kebebasan menyampaikan pendapat, bahkan berpikir
menyimpang, karena sang ratu bernama Tirani mampu membaca pikiran setiap orang.
Berani melawan akan dibunuh.
Diceritakan
dalam roman ini, ada sekelompok pemberontak berupaya menggulingkan kekuasaan
mutlak sang ratu yang telah berlangsung ratusan tahun. Mereka awalnya
terpecah-pecah tapi akhirnya menyatukan kekuatan untuk melawan sang pemimpin
diktator, yang tak hanya kejam tapi juga sakti mandraguna dan mempunyai banyak
prajurit dan pengawal setia. Mampukah para pemberontak itu?
Kekuatan Seno
Gumira Adjidarma adalah dalam mendeskripsikan suasana, gambaran masyarakat,
alam dan kebiasaan tingkah laku para penduduk negeri senja, pembantaian missal,
terasa begitu mendetail. Dengan sudut pandang Aku, Seno terasa leluasa
menjelajah setiap sudut kota,
hingga ke tempat pelacuran, dan kita dapat turut merasakan pengalaman sang
tokoh. Kemampuan Seno mengolah dan menggunakan kata-kata sehingga sulit ditemui
repetisi di tiap kalimat membuat buku ini terasa enak dicerna.
Ciri khas Seno
adalah novelnya yang sarat pesan dan kritik akan penguasa. Terasa sekali meski
kisah ini mengambil setting di padang pasir,
seperti suasana Indonesia
zaman orde baru dulu ketika kebebasan dikungkung dan semua mesti diseragamkan. Satu pesannya menarik dikutip,
“Betapa tak terberkahi hidup kecemasan, betapa tanpa
rahmat hidup dalam kegelisahan. Setiap orang harus mampu menguak tempurung
kegelapannya, setiap orang harus berjuang menguak ketakutannya”.
Satu hal yang
agak mengganggu adalah setting waktu yang tak jelas dari novel ini. Sepintas
kita dibawa ke masa lampau, dimana para musafir pengembara, pedagang, masih
menjelajah dengan kuda dan unta. Demikian pula senjata pembunuh yang berupa
pedang, kelewang, dan pisau. Namun kehadiran passport dan pos perbatasan, serta
serangan bom bunuh diri begitu khas masa kini.
Novel yang begitu
memanjakan imajinasi ini begitu menarik dibaca. Rasanya sungkan dan sayang
berhenti di tengah-tengah cerita karena tiap babnya menawarkan kejutan-kejutan
yang sering tak menyenangkan tapi menimbulkan penasaran. Peresensi
merekomendasikan buku ini buat Anda yang gemar karya sastra berkualitas.
No comments:
Post a Comment