
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 294 halaman
Peresensi: Rusli Nurdin (10.12.066)
Selalu ada kekuasaan
di balik realitas yang melingkupi sebuah masyarakat. Sistem kemasyarakatan
hingga keketatan sebuah ideologi, selalu dikonstruksi oleh
"kekuasaan" tertentu. "Kekuasaan" itulah yang disebut
sebagai dominasi.Pada bagian awal buku yang ditulis oleh Haryatmoko ini,
disampaikan sejumlah gagasan yang dapat membantu pembaca untuk mulai menyadari
bagaimana banyak segi dalam kehidupan telah dimistifikasi oleh kekuatan
tertentu.
Gagasan-gagasan
tersebut berasal dari para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard,
Jurgen Habermas, Michel Foucault, hingga Jacques Derrida, yang terkenal selalu
"menaruh curiga" atas kebenaran-kebenaran yang sudah terlanjur
diterima secara umum.
Hal yang sama juga
terdapat dalam pemikiran Jurgen Habermas, salah seorang pemikiran aliran kritis
Mazhab Frankfurt. Pemikiran Habermas, demikian ditulis Haryatmoko, ingin
membebaskan manusia dari rasionalitas intrumental, yang kental dengan logika
dan formalisme dalam menentukan kebenaran.
Selain itu, Haryatmoko
juga melihat ada sejumlah dominasi utama yang kerap menjadi akar kekerasan
dalam masyarakat, yakni dominasi agama, dominasi wacana, dan dominasi uang yang
mengarah kepada konsumerisme.
Menurut Haryatmoko,
dengan mengutip Nelson Pallmeyer, dominasi agama kerap memicu kekerasan.
Kekerasan relijius tidak hanya persoalan distorsi penafsiran teks, tetapi
mengakar pada anggapan bahwa Tuhan pun berhak melakukan pembalasan ataupun
kekerasan sebagai bagian dari kesucianNya.
Kemudian dominasi wacana. Menurut
Haryatmoko, dominasi wacana adalah hal yang paling sulit diatasi, terutama
menyangkut kekerasan simbolik. Dominasi ini beroperasi pada tataran bahasa,
cara kerja, dan cara bertindak (hal. 128).Selain itu, dampak dominasi wacana
cenderung halus dan tidak terasa. Parahnya, dominasi ini diakui dan diterima
oleh si korban. Contoh jelas dominasi wacana adalah, posisi subordinasi
perempuan.
Dominasi lain yang kental dalam
masyarakat kontemporer adalah uang. Dalam masyarakat kontemporer, uang menjadi
ukuran untuk menentukan berbagai hal. Lalu konsumsi tidak lagi berdasarkan
kebutuhan, melainkan tanda.
Di sini, konsumen membeli barang
bukan karena manfaat, tetapi dalam kaitan pemaknaan seluruh obyek (hal. 227).
Bahkan konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi karena
tekanan psikologis dan sosial.
Seperti lazimnya membaca
buku-buku beraroma filsafat yang kuat, untuk memahami buku ini, pembaca harus
mau membuka cakrawala pemikiran secara lebih luas, dan memiliki usaha lebih
untuk memahami setiap terminologi serta ide kunci yang dituangkan di
dalamnya.***
(Dimuat di Koran Jakarta edisi 14
Juli 2010)
No comments:
Post a Comment